Musik dalam Ibadah
Oleh Dante Oblimar

 

Bapak Dante Oblimar adalah seorang pendidik dan pakar musik dan tarik suara. Beliau berasal dari Filipina, merupakan pendiri dari beberapa paduan suara mahasiswa di Filipiana (AUP) dan juga di Indonesia (UNAI, Unklab, dan saat ini melayani di PTASN Pematang Siantar). Pada Sabat, 4 November 2017, Beliau dan istri berkesempatan untuk melayani di GMAHK Bumi Serpong Damai, mengambil bagian pada perbaktian khotbah dan memberikan seminar.

 

Khotbah “The Purpose and Function of Church Music”
Pada jam khotbah, Bapak Dante memberikan pemaparan mengenai tujuan penggunaan musik dalam perbaktian Sabat. Beliau memulai khotbah dengan menanyakan sebuah hal, yaitu “Apakah kita pergi ke gereja karena (untuk mendengarkan) musik?”. Beliau menyimpulkan jawabannya adalah “terkadang, iya”, karena sebagian besar jemaat ragu-ragu menjawab. Pertanyaan berikutnya, yaitu “Apakah kita bisa beribadah kepada Tuhan tanpa musik?” Dan hampir separuh anggota yang hadir menjawab “ya”. Untuk itu, alasan mengapa kita memerlukan musik dalam gereja menjadi topik pembahasan Beliau dalam khotbah ini. Bapak Dante mengemukakan bahwa ada dua tujuan penggunaan musik.

 

Tujuan sekunder.
Tanpa disadari, penggunaan musik sebagai tujuan sekunder adalah yang paling sering dilakukan oleh gereja. Pertama, musik untuk mendukung tradisi, dalam hal ini program gereja. Contohnya, jika tidak ada yang memainkan musik, tidak dapat memulai ibadah. Kedua, musik untuk relaksasi. Musik digunakan sebagai relaksasi adalah seperti break atau jeda dari jam sekolah sabat kepada jam khotbah. Pada saat tersebut, umumnya seorang song leader akan berdiri di depan dan berkata: “sambil menunggu partisipan, mari kita bernyanyi dari lagu nomor…”. Jadi, tujuan musik adalah untuk menunggu partisipan siap naik ke mimbar. Selain itu, hal ini juga terjadi saat pengumpulan persembahan (di GMAHK BSD, pengumpulan persembahan pada jam khotbah hanya diiringi oleh instrument atau beberapa singers. Jemaat tidak bernyanyi sampai pengumpulan persembahan selesai. Kemudian, sebelum berdoa jemaat berdiri untuk bernyanyi lagu sambutan persembahan). Beliau mengatakan bahwa pada saat-saat tersebut, jemaat jadi berbincang dengan jemaat lain karena merasa itu adalah saat break. Musik pada waktu tersebut bertujuan untuk menunggu pengumpulan persembahan. Contoh lain adalah saat PA, umumnya ada lagu energizer, lagu untuk membangkitkan semangat. Beberapa lagu energizer (berbeda dengan lagu dengan sign languange), mempunyai gerakan yang tidak sesuai dengan kata-katanya, dan bahkan menghilangkan kata-kata dalam lagu. Lagu tersebut menjadi tidak ada artinya, sehingga musik hanya untuk relaksasi, untuk kesenangan diri.

Tujuan sekunder yang ketiga adalah musik untuk relasi publik. Contohnya adalah musik digunakan sebagai promosi gereja dengan melakukan konser-konser. Keempat, musik untuk kekuatan organisasi. Hal ini menggunakan suatu alasan tertentu agar musik untuk membentuk paduan suara atau koor. Contohnya adalah membentuk koor anak-anak agar mereka tidak berlarian sehabis kebaktian, membentuk koor orang muda sebelum jam PA supaya mereka hadir di PA, ataupun membentuk koor orangtua karena mereka adalah kelompok yang paling banyak hadir di gereja. Bapak Dante menekankan bahwa alasan-alasan diatas membuat musik digunakan tidak secara tepat. Terakhir, musik digunakan untuk menarik kelompok tertentu. Contohnya yang saat ini banyak dilakukan adalah mengganti musik atau menambah instrument yang lebih disukai anak muda. Dengan perubahan ini, diharapkan orang muda lebih banyak yang datang ke gereja. Sayangnya persepsi ini menekankan bahwa musik adalah yang membuat orang muda tetap berada di gereja. Sementara itu, yang lebih tepat adalah pengenalan akan Allah membuat mereka datang ke perbaktian gereja.

Selanjutnya, Bapak Dante menjelaskan tujuan utama dari musik, yaitu untuk penginjilan. Musik adalah alat yang mendukung pembelajaran spiritual. Beberapa alasan mengapa musik dibutuhkan antara lain, yaitu:

  1. Untuk penyembahan dan doa atau praise & worship,
  2. Memberikan instruksi atau mengajar,
  3. Sebagai kesaksian,
  4. Mendukung perbaktian gabungan, contohnya seperti menyanyi bersama secara jemaat, dan
  5. Untuk memotivasi agar pesan dari perbaktian lebih diingat (contohnya seperti pengkhotbah yang menyesuaikan lagu pengantar dan sambutan khotbah dengan topik yang dibawakan).

 

Beliau membagikan kutipan Ellen G White, bahwa “musik diciptakan untuk melayani tujuan yang kudus, mengangkat pikiran kepada yang murni, patuh, dan mengangkat serta membangkitkan jiwa dalam perenungan akan ucapan syukur kepada Allah”. Selain itu, “musik jika tidak disalahguankan adalah suatu berkat yang terbaik. Namun jika disalahgunakan akan mendatangkan kutuk yang mengerikan”.

Seminar Musik “Music is a gift from God”
Setelah potluck, diadakan seminar musik dengan tema “Musik adalah Pemberian dari Allah”. Bapak Dante menyampaikan bahwa topik yang dipilihkan oleh departemen musik ini adalah suatu hal yang belum pernah dia bicarakan sebelumnya. Untuk itu, ada banyak hal baru yang dia pelajari sembari menyusun materi ini. Beliau membuka seminar kembali dengan pertanyaan “Apakah musik merupakan sebuah pemberian dari Allah?”. Hampir seluruh jemaat mengangguk setuju. Akan tetapi, jemaat terlihat kembali ragu dalam merespon pertanyaan kedua, yaitu “Dapatkan sebuah pemberian yang baik menjadi ilah?” (Can good gift become gods?”). Bapak Dante mengulang pelajaran Istrael di padang gurun yang diberikan patung ular oleh Allah sebagai pemberian atau simbol untuk memandang kepada Nya. Namun, tujuan yang baik ini justru membuat bangsa Istrael lebih melihat pada simbol fisik atau patung daripada Allah sendiri, sehingga mereka membuat suatu benda dan memberikan nama untuk ilah tersebut.

Ada beberapa indikator yang menunjukkan bahwa musik sebagai pemberian Allah berganti menjadi ilah, yaitu:

  1. Ketika pembuatan musik mengambil waktu yang seharusnya adalah waktu untuk bersama dengan Allah (belajar firmanNya). Contohnya adalah latihan koor di jam sekolah sabat untuk melayani di jam khotbah. Fenomena yang terjadi adalah anggota koor tidak mengikuti sekolah sabat dan sibuk berlatih, kemudian tidak ikut awal kebaktian khotbah namun tampil pada lagu special bersama koor. Untuk itu, di gereja Bapak Dante di Filipina, sudah dilarang untuk berlatih di jam sekolah sabat. Kelompok nyanyi yang akan melayani di khotbah diharapkan untuk latihan setidaknya satu jam sebelum acara sekolah sabat dimulai. Persiapan menyanyi memang perlu, tetapi tidak sampai membuat seseorang tidak mengikuti kebaktian karena sibuk berlatih.
  2. Ketika kita memilih untuk bergerja berdasarkan musik yang ada di tempat itu daripada kebenaran dan firman Allah yang akan disampaikan. Contohnya, orang lebih ramai datang ke sebuah gereja jika diberi tahu ada sebuah koor besar yang akan tampil dibandingkan jika diberi tahu ada seorang pendeta yang akan berkhotbah.
  3. Ketika kita merasa tidak dapat melakukan ibadah tanpa musik. Contohnya adalah mencari pianis dulu baru kebaktian dimulai.
  4. Ketika kita berpikir bahwa musik menghadirkan atau membawa kita ke hadirat Allah. “Siapa yang membawa Anda?” “Kemana (hadirat Allah) itu?”. Menurut Bapak Dante, Allah sudah hadir, jadi tidak perlu dipanggil seperti, “untuk mengundang Roh Kudus dalam hati kita marilah kita menyanyi dari…” pun Ia (Allah) sudah ada.
  5. Penampilan musik yang jelek malah membuat dosa karena kekesalan tehadap orang lain. Contohnya adalah, kita sering mengomentari seperti ini, “Ah, ini soprannya harus lebih bagus lagi”. Bapak Dante memberikan sebuah pengalaman. Suatu saat dirinya mengomntari suatu tampilan lagu spesial, seorang teman lalu mengingatkannya, “Bisakah kita mendengarkan saja?”. Beliau kemudian menyadari bahwa perkataan temannya adalah benar.
  6. Kecintaan pada musik melebihi kecintaan kita pada Allah. Beliau mengemukakan pemikirannya, bahwa mungkin Allah cemburu. Saat kita sedih, kita pergi mencari musik, bukan datang kepada-Nya.

 

Bapak Dante mengingatkan pentingnya persiapan sebelum memberikan persembahan lagu (di ibadah Sekolah Sabat atau Khotbah). Persiapan untuk bernyanyi ini tidak harus latihan yang berjam-jam. Informasi mengenai lagu yang akan dinyanyikan, misalnya oleh ibu-ibu, lewat pesan elektronik seperti WA group juga merupakan persiapan. Beliau kurang berkenan dengan cara “silahkan bapak-bapak memberikan pujian” dan baru mencari lagu di depan mimbar. Dengan informasi yang demikian, setiap orang dapat mempersiapkan diri dari rumah, atau setidaknya tahu lagu apa yang akan dinyanyikan. Terkait dengan pertanyaan bahwa “sering kali pemberi lagu pujian yang telah dijadwal tidak hadir sehingga terbiasa menunjuk kelompok atau jemaat”, beliau memberikan sebuah saran. Hal yang departemen musik bisa lakukan adalah menginstruksikan seluruh jemaat untuk menyiapkan sebuah lagi. Jika tidak mempunyai referensi lagu, departemen musik dapat memberikan pilihan lagu. Pertanyaan berikutnya dari setiap jemaat jika hal ini diberlakukan adalah kapan akan menyanyi. Jawaban yang bijak adalah, tidak tahu; Kamu (jemaat) bisa ditunjuk untuk bernyanyi kapan saja, jadi silahkan berlatih. Dengan cara ini, semua jemaat sudah siap untuk memberikan persembahan pujian. Selanjutnya, istilah ‘lagu spesial’ maupun ‘lagu pujian’ dinilai kurang tepat. Saat ini, di gerejanya di Filipina, istilah tersebut telah diganti menjadi ‘persembahan pujian’. Kata ‘persembahan’ akan membuat jemaat lebih serius dalam menyiapkan dan menampilkan pujian. Hal ini dilandasi oleh kesadaran jemaat bahwa nyanyian ini adalah bentuk persembahan dan hanya persembahan yang terbaik yang patut diberikan untuk Tuhan.

Terdapat beberapa hal yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh musik. Hal yang dapat dilakukan oleh musik, yaitu (a) mempengaruhi emosi seseorang, (b) menciptakan mood, (c) melembutkan hati dan perasaan supaya dapat mendengarkan lebih baik, (d) mendengar kata-kata secara berbeda, (e) mengalihkan perhatian dari hal yang terjadi, (f) membantu lebih fokus terhadap hal yang terjadi, dan (g) membantu mengingat kata-kata. Bapak Dante menambahkan bahwa, di atas apa yang musik bisa lakukan, yang menentukan apa yang harus di lakukan adalah diri sendiri. Sementara itu, terdapat beberapa hal yang tidak dapat dilakukan musik, yaitu (a) membuat Allah lebih hadir, (b) membuat hadirat Allah turun, (c) membawa kita (jemaat) lebih dekat kepada hadirat Allah (contoh pernyataan “mendengarkan lagu ini seakan sedang berada di surga”) dan (d) memanipulasi illah.

Pertanyaan-pertanyaan
Bapak Dante membuka sesi pertanyaan dan beberapa anggota memberikan pertanyaannya. Umumnya, pertanyaan adalah mengenai pandangan Beliau akan gereja yang mengganti musiknya menjadi lebih modern, misal untuk menarik anak muda, mengganti menjadi lebih tradisional, atau menggunakan instrumen daerah, serta mengenai tarian di gereja. Beliau menekankan bahwa, yang diperlukan orang muda adalah pengenalan akan Allah. Dengan pengalaman spiritual, pandangan dan selera mereka juga akan berubah. Jika hanya karena musik orang muda datang ke gereja, mereka tidak akan bertahan lama. Mereka akan keluar jika musik yang mereka sukai tersebut dihentikan. Jadi, mereka harus terlebih dahulu berakar dalam Kristus.

Sementara itu, musik dengan instrument atau khas daerah seharusnya mendapat perhatian khusus. Perhatiannya adalah akan bagaimana komunitas ini bergabung dengan standart perbaktian biasa. Untuk tarian, tidak disarankan dalam perbaktian karena tidak terdapat dalam Alkitab. Tarian masa kini sudah menjadi terlalu liar. Tidak ada yang tahu bagaimana tarian Daud yang dituliskan untuk memuji Tuhan itu. Tarian itu juga hanya bisa digerakkan oleh Daud oleh karena kedekatannya dengan Allah. Perbaktian gereja Advent mempunyai standart yang paling dekat dengan perbaktian di Alkitab, yaitu dengan prinsip solem (khusyuk), referent (kepatuhan), dan holy (kudus). Jadi, musiknya harus mendukung perbaktian dengan cara demikian.

Cara untuk bernyanyi juga disarankan memecah beberapa suara. Hal ini juga menjadi saran Ellen G White, bahwa bernyanyi dengan beberapa suara menghadirkan malaikat-malaikat untuk ikut bernyanyi. Beliau mengatakan bahwa pembagian suara tidak hanya ada empat saja (soprano, tenor, alto, bass) tetapi ada satu lagi, yaitu false. Jadi, Beliau menenkankan bahwa tidak ada alasan bagi jemaat untuk tidak bernyanyi.
Bernyanyi bagi Allah melibatkan pengertian dan semangat (singing with spirit and understanding). Permasalahan menyanyikan dengan datar adalah karena kita (jemaat) tidak tahu untuk siapa kita bernyanyi dan apa yang kita nyanyikan. Untuk itu, harus diresapi kata-kata dalam lagu itu, karena itu merupakan Firman juga. Tetapi menyanyikannya bukan menjadi sendu atau diseret-seret, harus dengan bahagia. Kegembiraan akan keselamatan dan kabar baik Allah adalah yang membuat kita bernyanyi (I sing because I’m happy, I sing because I’m free), bukan bernyanyi supaya kita bergembira, contohnya menyanyi untuk dipuji suaranya bagus atau untuk kepuasan diri. Alasan mengapa kita tidak tepat dalam bernyanyi adalah karena kurang pengalaman rohani bersama dengan Allah.

Pada akhirnya, kesimpulan seminar ini adalah, musik yang digunakan harus mengacu kepada Allah. Allah adalah pusat musik kita. Jadi, bukan (musik) apa yang kita suka, tetapi apa yang Allah suka. Kita tidak perlu memusingkan jenis musik di luar gereja kita. Kita harus berfokus melakukan perubahan pada gereja kita sendiri sambil membagikan pekabaran ini kepada yang belum mendengarkan. Karena kita akan dihakimi sesuai dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman kita masing-masing.

Musik itu berguna, tetapi bukan yang terpenting (music is useful, but not necessary)
Musik itu bagus, tetapi Yesus lebih baik (music is good, but Jesus is better)
Musik itu pemberian, tetapi bukan ilah (music is a gift, but not a god)
Musik bukanlah hidupku, Yesus adalah hidupku (music isn’t my life, Jesus is)

 

Penulis: Hazel Hutabarat

Categories: Berita

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *